Jumat, 16 Mei 2014

RTRW Aceh Berbasis Bencana

Buletin Tata Ruang edisi September-Oktober 2001 : Menata Aceh Dengan Harapan Baru.

Penyusunan RTRW yang berbasis  rawan bencana sebagaimana amanat yang tercantum di dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, terkandung di dalam tujuan Penataan Ruang yaitu untuk mewujudkan Penataan Ruang Wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan; merupakan amanat yang wajib dituangkan di dalam RTRW Aceh. Kata aman dan nyaman tersebut identik dengan makna bebas dari ancaman bencana. Selain UU No. 26 Tahun 2007 tersebut, perlindungan masyarakat dari kebencanaan juga tercantum di dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana di dalam Pasal 24 ayat 1 yang menyebutkan, “Pelaksanaan dan penegakan tata ruang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana yang mencakup sanksi terhadap pelanggaran”. Berdasarkan dua landasan hukum tersebut, maka Pemda bergerak cepat menyusun RTRW yang mengakomodir isu adaptasi dan mitigasi bencana yang bertujuan agar pola pengembangan ruang ke depannya dapat menjamin keamanan, kenyaman, dan menyediakan ruang sebagai jalur, maupun area penyelamatan penduduk ke tempat yang lebih aman apabila terjadi bencana.
Terdapat perbedaan jelas antara RTRW sebelum dan sesudah terjadinya gempa dan tsunami. Saat ini konsentrasi pembangunan diarahkan menjauhi lokasi pantai yaitu ke bagian selatan Kota Banda Aceh. Selain itu, pertumbuhan penduduk di lokasi sekitar pantai juga dibatasi – hanya penduduk yang bekerja sebagai nelayan saja yang bermukim di daerah sekitar pantai. Pembatasan pemukiman di sekitar pantai tersebut menyebabkan 700 rumah penduduk dipindahkan ke arah selatan Kota Banda Aceh. Jalur-jalur yang berfungsi sebagai bufer pantai direncanakan untuk menahan deburan ombak yang kencang. Perencanaan jalur-jalur evakuasi yang letaknya tegak lurus dari wilayah pantai juga terlihat pada peta pola ruang RTRW Kota Banda Aceh berikut.
Sudah saatnya Indonesia khususnya Aceh memiliki informasi kebencanaan dalam bentuk peringatan melalui Peta Rawan Bencana sebagai alat informasi untuk dapat disebar luaskan ke masyarakat terhadap kerentanan terhadap kebencanaan, seperti halnya di Negara-negara maju dan berkembang seperti Jepang yang memiliki tingkat kerawanan gempa dan tsunami yang tinggi bahkan telah menyediakan informasi berbentuk teknologi interaktif dan dapat diakses masyarakat. Informasi antisipasi bencana ini bisa diciptakan oleh kerjasama beberapa stakeholder, instansi, dan uluran tangan dari luar negeri yang mengirimkan materi dan tenaga ahli di bidang kebencanaan. Maka meski tidak bisa dihindari dan dipastikan kapan terjadinya, akan tetapi para akademisi dan ahli dapat memberikan trobosan untuk mengurangi dampak bencana.  Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BNPBA), Lembaga Riset Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) yang dilopori dari Universitas Syah Kuala (UNSYIAH), UNDP, Multi Donor Thrust  fund (MDf), dan BAPPEDA Aceh bekerja sama untuk menyusun Peta Resiko Bencana Aceh bertajuk Aceh Disaster Risk Map (ADRM) melaui satu program, yaitu Disaster Risk Reduction Aceh (DRR-A).
Pada tanggal 3 Maret 2011, Gubernur Aceh telah mengesahkan Dokumen ADRM yang siap untuk disebarluaskan ke masyarakat Aceh dan lainnya untuk dijadikan panduan dan referensi, sebagaimana yang Pemda yang telah mengakomodir peta rawan bencana tersebut ke dalam RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029. Indonesia mungkin belum dapat menciptakan teknologi mutakhir seperti Jepangyang telah menciptakan berbagai teknologi untuk mengantisipasi terjadinyabencana. Akan tetapi apa yang telah diterapkan Jepang, dapat dijadikan contohdan referensi bagi Indonesia untuk langkah penyelamatan daerah rawan bencana seperti Aceh.

Sumber :
BKPRN. 2011. Buletin Tata Ruang edisi September-Oktober 2001 : Menata Aceh Dengan Harapan Baru.Jakarta : Sekretariat Tim Pelaksana BKPRN.

0 komentar:

Posting Komentar