Buletin Tata Ruang edisi
September-Oktober 2001 : Menata Aceh Dengan Harapan Baru.
Penyusunan
RTRW yang berbasis rawan bencana
sebagaimana amanat yang tercantum di dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, terkandung di dalam tujuan Penataan Ruang yaitu untuk
mewujudkan Penataan Ruang Wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan; merupakan amanat yang wajib dituangkan di dalam RTRW Aceh. Kata
aman dan nyaman tersebut identik dengan makna bebas dari ancaman bencana. Selain
UU No. 26 Tahun 2007 tersebut, perlindungan masyarakat dari kebencanaan juga
tercantum di dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana di dalam
Pasal 24 ayat 1 yang menyebutkan, “Pelaksanaan dan penegakan tata ruang
dilakukan untuk mengurangi resiko bencana yang mencakup sanksi terhadap
pelanggaran”. Berdasarkan dua landasan hukum tersebut, maka Pemda bergerak
cepat menyusun RTRW yang mengakomodir isu adaptasi dan mitigasi bencana yang
bertujuan agar pola pengembangan ruang ke depannya dapat menjamin keamanan,
kenyaman, dan menyediakan ruang sebagai jalur, maupun area penyelamatan
penduduk ke tempat yang lebih aman apabila terjadi bencana.
Terdapat
perbedaan jelas antara RTRW sebelum dan sesudah terjadinya gempa dan tsunami.
Saat ini konsentrasi pembangunan diarahkan menjauhi lokasi pantai yaitu ke
bagian selatan Kota Banda Aceh. Selain itu, pertumbuhan penduduk di lokasi
sekitar pantai juga dibatasi – hanya penduduk yang bekerja sebagai nelayan saja
yang bermukim di daerah sekitar pantai. Pembatasan pemukiman di sekitar pantai
tersebut menyebabkan 700 rumah penduduk dipindahkan ke arah selatan Kota Banda
Aceh. Jalur-jalur yang berfungsi sebagai bufer pantai direncanakan untuk
menahan deburan ombak yang kencang. Perencanaan jalur-jalur evakuasi yang
letaknya tegak lurus dari wilayah pantai juga terlihat pada peta pola ruang RTRW
Kota Banda Aceh berikut.
Sudah
saatnya Indonesia khususnya Aceh memiliki informasi kebencanaan dalam bentuk
peringatan melalui Peta Rawan Bencana sebagai alat informasi untuk dapat disebar
luaskan ke masyarakat terhadap kerentanan terhadap kebencanaan, seperti halnya
di Negara-negara maju dan berkembang seperti Jepang yang memiliki tingkat
kerawanan gempa dan tsunami yang tinggi bahkan telah menyediakan informasi
berbentuk teknologi interaktif dan dapat diakses masyarakat. Informasi antisipasi
bencana ini bisa diciptakan oleh kerjasama beberapa stakeholder, instansi, dan
uluran tangan dari luar negeri yang mengirimkan materi dan tenaga ahli di
bidang kebencanaan. Maka meski tidak bisa dihindari dan dipastikan kapan terjadinya,
akan tetapi para akademisi dan ahli dapat memberikan trobosan untuk mengurangi
dampak bencana. Badan Penanggulangan
Bencana Aceh (BNPBA), Lembaga Riset Tsunami and Disaster Mitigation Research
Center (TDMRC) yang dilopori dari Universitas Syah Kuala (UNSYIAH), UNDP, Multi
Donor Thrust fund (MDf), dan BAPPEDA
Aceh bekerja sama untuk menyusun Peta Resiko Bencana Aceh bertajuk Aceh
Disaster Risk Map (ADRM) melaui satu program, yaitu Disaster Risk Reduction
Aceh (DRR-A).
Pada
tanggal 3 Maret 2011, Gubernur Aceh telah mengesahkan Dokumen ADRM yang siap
untuk disebarluaskan ke masyarakat Aceh dan lainnya untuk dijadikan panduan dan
referensi, sebagaimana yang Pemda yang telah mengakomodir peta rawan bencana
tersebut ke dalam RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029. Indonesia mungkin belum
dapat menciptakan teknologi mutakhir seperti Jepangyang telah menciptakan
berbagai teknologi untuk mengantisipasi terjadinyabencana. Akan tetapi apa yang
telah diterapkan Jepang, dapat dijadikan contohdan referensi bagi Indonesia
untuk langkah penyelamatan daerah rawan bencana seperti Aceh.
Sumber
:
BKPRN.
2011. Buletin Tata Ruang edisi September-Oktober 2001 : Menata Aceh Dengan
Harapan Baru.Jakarta : Sekretariat Tim Pelaksana BKPRN.
0 komentar:
Posting Komentar